Sisi Buruk Generasi Instagram & Tiktok
Sisi Buruk Generasi Instagram & Tiktok |
Siapa sih zaman sekarang
yang tidak menggunakan Instagram dan TikTok?
Hampir semua anak muda bahkan juga beberapa mereka yang sudah
dikategorikan orang tua juga tak luput dari aplikasi ini.
Menurut katadata.co.id,
secara global pengguna (user) Tik Tok mencapai 1,46 milyar
pengguna aktif, sedangkan Instagram 1,45
milyar pengguna aktif. Artinya hampir 20 persen populasi dunia menggunakan platform
ini.
Fakta mengejutkan
lainnya, bahwa durasi penggunaan platform ini juga tidak main-main. Berikut data
sebuah penelitian yang saya dapat dari website katadata :
“Tik Tok digunakan lebih dari 2 jam per hari oleh 47,4% responden,
mengalahkan Facebook dan Instagram. Dengan rincian, 5,6% responden mengatakan
menghabiskan durasi lebih dari 8 jam di Tiktok, 9,9% menggunakan sekitar 5-8
jam, 31,8% menggunakan sekitar 2-5 jam dalam sehari”
Sedangkan rata-rata, pengguna tiktok menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam.
Dan rata-rata pengguna Instagram menghabiskan waktu sekitar 1,2 jam.
Lalu masalahnya dimana?
Kita tahu bahwa ini
adalah zaman informasi, dimana semua hal, kalau bisa ya di tayangkan atau di
posting di platform ini. Kalau dulu orang punya motor baru misalnya, paling
yang tahu hanya orang terdekat saja, tetapi sekarang kurang afdhol misalnya
tidak diposting di Instagram dan TikTok. Intinya di zaman ini apapun yang terjadi
di dunia nyata harus ditayangkan di dunia maya. Tak aneh jika ada yang bilang,
kalau zaman ini, privasi sangatlah mahal. Karena hampir mudah sekali mengetahui
kehidupan sesorang hanya dengan mengikuti postingan di media sosial.
Saya setuju bahwa setiap sesuatu memiliki sisi baik dan buruknya, tetapi saat ini saya ingin menunjukkan sisi buruk dari menggunakan Instagram dan TikTok kepada kehidupan sehari-hari. Spesifiknya sisi psikologis dan pengembangan pengetahuan.
Pertama, ketergantungan terhadap aplikasi ini membuat kita kurang bahagia. Kita tahu bahwa ketika pengguna memposting sesuatu ia pasti memiliki harapan, bahwa postingannya mendapat perhatian dari pengguna lainnya. Makin banyak orang yang menekan tombol like, share dan save, maka makin tinggi pula kebahagian yang di dapat oleh pengguna tadi.
Dengan kata lain pemicu hormon dopamine (hormon kebahagian) kita tergantung pada tombol like, share dan save.
Selanjutnya, kita akan cenderung mengulang mendapatkan kebahagian yang sama dengan memposting lagi agar mendapatkan jumlah like, share dan save yang banyak.
Jumlah Like, Share dan Save Mempengaruhi Mental |
Belum lagi hal ini
diperparah, ketika manusia memiliki sifat
greedy (ketamakan) dan fear (ketakutan). Lalu kapan sifat ini muncul? Ketika si
pengguna mendapatkan jumlah like, share dan save yang sama dalam kurun waktu
tertentu, ia pasti merasa bahwa dirinya perlu meningkatkan jumlah postingan dan
kualitas postingan, saat itulah ia mulai merasa resah jika ia tidak bisa
melakukannya. Ketika ia gagal, maka ia merasa
seolah-olah dirinya tidak mampu, disini ia mulai merasa kurang bahagia.
Dilain waktu, ketika ia
mendapati penurunan jumlah like, share dan save di postingannya, ia akan merasa
kurang bahagia, merasa takut dan menganggap dirinya kurang diterima oleh
pengguna lainnya.
Makanya tidak aneh, terkadang
banyak pengguna menghabiskan banyak waktu hanya untuk mendapat kebahagian dari
postinganya yang jumlah like, share dan save-nya banyak.
Mengejar tombol like, share
dan save tidaklah salah jika itu dengan orientasi bisnis dan sosial, karena
memang bisa menghasilkan dan bermanfaat bagi yang lain, tetapi jika hanya untuk
kepuasan diri sendiri dan kurang bermanfaat, sebaiknya mulai hari ini, cari alternative
kebahagian yang lebih bermanfaat seperti menghabiskan waktu dengan membaca, berdiskusi,
atau mengerjakan project kecil yang bermanfaat.
Singkatnya, manusia
menjadi lemah secara mental. Tombol like, share and share menjadi suatu candu
terbaru.
Kedua, yang harus disadari bahwa TikTok dan Instagram bekerja sesuai dengan algoritma yang telah ditanam dalam platform ini. Ia akan merekomendasikan postingan sesuai dengan apa yang pernah kita cari di aplikasi ini. Bayangkan kalau anda pada suatu hari mencari konten yang tidak yang kurang bermanfaat, lalu pada hari-hari selanjutnya konten yang serupa menghiasi beranda anda. Yang terjadi adalah pesan negatifnya akan terus diperkuat dan anda seperti terkurung secara tidak sadar untuk mengonsumsi konten-konten yang serupa.
Nah ini juga yang sangat
berbahaya dalam pengembangan pengetahuan. Instagram dan TikTok cenderung merekomendasikan
konten yang pernah kitacari dimana ini mengakibatkan proses dialektika dalam
mencapai pengetahuan itu gagal. Dengan demikian yang terjadi selanjutnya adalah
mereka yang menganut paham kiri makin menjadi kiri karena memang Instagram
& Tik Tok tidak merekomendadikan konten golongan kanan. Oleh karena itu,
Instagram dan TikTok tidak akan bisa menghasilkan pengetahuan melalui
dialektika yang rumit tetapi hanya akan memperkuat kebodohan karena setiap
pihak gagal untuk menguji pemahamannya.
Terus apa yang harus anda
lakukan?
Sebaiknya anda harus mulai memikir kembali seberapa banyak waktu yang bisa anda gunakan untuk aplikasi ini dan konten apa yang akan anda lihat. Jika terlanjur menfollow akun-akun yang kurang bermanfaat, mulai sekarang ikutilah akun yang memiliki nilai kebermanfaatan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, penggunaan Instagram dan TikTok akan membawa efek positif dalam hidup anda. Selanjutnya jika harus memposting sesuatu, seyogyanya pertimbangkan nilai apa yang bisa saya berikan dalam setiap postingan, dan jangan terlalu obsesi terhadap tombol like, share dan save. Belum tentu impressi anda rendah karena kualitas konten rendah, bisa jadi karena anda belum familiar dengan algoritma Instagram & TikTok.
Yang perlu anda ingat
bahwa, Instagram dan TikTok tidaklah bisa menggantikan proses pembelajaran dan
menemukan kebenaran. Jadi tetaplah membaca buku dan berdiskusi supaya tidak
terjebak dengan ke-aku -an diri.
Reference :
Klik selengkapnya di sini:
https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-instagram-indonesia-terbesar-keempat-di-dunia.
Posting Komentar untuk "Sisi Buruk Generasi Instagram & Tiktok"