Memberi adalah Jalan Kehidupan
Bayangkan sekarang kita
sedang berjalan di tengah kerumunan, di mana semuanya berbaju biru, sedangkan
kita sendiri berbaju ungu. Apa yang akan terlintas di benak kita? Jika kita
seorang dengan bawaan selalu optimis yang berani tampil beda, pastinya kita
menganggap bahwa kita tidak akan merasa rendah walaupun kelihatan berbeda dari
yang lain. Tetapi jika kita orang yang pesimis pasti akan merasa minder dan
mudah baper dengan kondisi tersebut.
Saat ini sebenarnya kita
sedang berada dalam kondisi sangat komsumtif sebagai gaya hidup. Dengan izin
Tuhan kita mendapat promosi jabatan baru, tentunya dengan tanggungjawab dan
pendapatan yang lebih tinggi, biasanya hasrat membeli juga akan semakin
meningkat. Dari biasanya memakai baju harga ratusan ribu, kita mulai
meng-upgrade ke harga yang jutaan, dari biasanya cuma memakai mobil harga
puluhan juta (used car) kita akan memulai coba membeli mobil baru (new car)
yang harganya ratusan juta. Semua itu biasanya kita lakukan karena satu kalimat
perangkap sosial yaitu “masak seorang dengan penghasilan sekian sekian
penampilannya masih dengan penghasilan yang lama.”
Alih-alih mendapat
kebahagian karena kenaikan pangkat atau jabatan, kita malah terperangkap dalam
beban sosial dengan kasta konsumtif baru.
Pola kehidupan di atas
hakikatnya adalah sebuah ciptaan dari sebuah tatanan dunia saat ini, baik Anda
maupun saya, kita sama-sama hidup dalam lingkaran sistem ini. Menjadi berbeda
adalah keputusan hidup yang sangat berani. Betapa tidak, Anda mau melawan arus
sedangkan kita tahu, kapal yang melawan ombak hanya memiliki dua kemungkinan
yaitu karam ataupun kabar baiknya kapal tersebut selamat dan sampai di tujuan
yang baru.
Mari Kita Berlayar
Gaur Gopal Das dalam salah satu presentasinya mengatakan bahwa dunia ini telah dipenuhi oleh manusia yang lebih suka mengambil (taker) ketimbang memberi (giver). Sangat sedikit yang lebih suka memberi ketimbang mengambil. Kondisi seperti ini menurutnya dapat mengganggu keseimbangan kehidupan.
Baginya kehidupan ini
ibarat seni bernafas. Setiap saat kita melakukan tarikan nafas (breath in) dan
buang nafas (breath out). Apa yang terjadi jika kita hanya melakukan satu saja
yaitu tarikan nafas? Di situlah kehidupan akan berakhir.
Jika kita merenung lebih
lanjut, realitanya keputusan menjadi lebih mementingkan diri sendiri
sesungguhnya makin diperparah dengan pacuan economic growth di mana setiap
negara ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Manusia memang diarahkan
untuk mengonsumsi banyak barang. Ini berarti tinggi pertumbuhan ekonomi sama
dengan makin banyak barang yang harus kita konsumsi, makin banyak barang yang
kita konsumsi ini juga berujung pada makin banyak sumber daya alam yang harus
kita kuras.
Pertumbuhan eonomi yang
mendorong manusia untuk menjadi mesin konsumsi ini memiliki ciri khas yaitu
selfish atau mementingkan diri sendiri. Artinya pola konsumsi atau spending
yang dimaksud adalah untuk menunjang standar hidup atau gaya hidup pribadinya.
Lalu bagaimana dengan
nasib mereka yang kurang beruntung dari sisi kesempatan untuk bersekolah?
Kesempatan untuk hidup di lingkungan yang baik, kesempatan bekerja dengan
pendapatan yang layak dan kesempatan lainnya?
Menurut hemat penulis, di
sinilah the art of giving (seni memberi) mengambil bagian untuk memastikan hak
setiap makhluk hidup agar mendapat kehidupan yang layak. Jadi memberi kepada
orang lain atau membantu mereka yang kurang beruntung bukanlah sebuah tindakan
patriotisme tetapi memang itu adalah sebuah hal yang harus kita lakukan.
Dalam pelajaran ekonomi
yang sering dibahas oleh dosen di ruang perkuliahan, penulis sering menyimak
bagaimana sebuah sumber ekonomi ini dipetakan. Anggap saja di sebuah meja
makan, ibu kita menyajikan seporsi kue dengan diameter 30 cm. Sedangkan kita berjumlah
5 orang, mau tidak mau kita harus membagi kue tersebut menjadi 5 potong. Lalu
bagaimana jika dalam waktu tersebut, kita kedatangan orang yang hendak bertamu
pada hari itu? Ya jawabannya kita harus bersedia berbagi dengan si tamu.
Tentunya kita harus berbagi dan mendapatkan potongan kue yang lebih kecil.
Begitulah ekonomi kita
sebenarnya, kita hidup dengan sumber daya yang terbatas, waktu yang terbatas
dan energi yang terbatas. Jadi mau tidak mau kita harus berbagi karena memang
kita diciptakan untuk mengambil dan memberi.
Kondisi Kita Sekarang
Sebelum saya menutup
tulisan ini, mari sejenak memperhatikan beberapa data yang saya ambil dari
beberapa sumber. Yang harus kita sadari adalah tingkat ketimpangan ekonomi
secara global sangatlah besar, ini dampak dari penerapan “laizess faire”
sebagai kiblat dari ekonomi. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh
oxfam.org dengan judul “World’s billionaires have more wealth than 4.6 billion
people” tertulis bahwa 1.253 orang kaya di dunia lebih kaya dibanding dengan
total 4,6 milyar manusia di bumi, dengan kata lain mereka lebih kaya dari total
60 persen manusia di dunia.
Selanjutnya digambarkan bagaimana sistem ekonomi kita mengisi bahan bakar ketidakadilan sehingga memperlebar krisis ketimpangan ini. Fakta yang ditemukan:
a. 22 orang paling kaya di dunia memiliki kekayaan melebihi kekayaan total populasi wanita di Afrika.
b. Total jam kerja wanita yang tidak mendapat bayaran setiap harinya mencapai 12,5 miliar jam. Mereka telah berkontribusi pada perekonomian dunia setidaknya sebesar $10,8 trilliun/ tahun atau lebih besar dari 3 kali lipat ekonomi yang berbasis teknologi.
c. Jika saja satu persen
dari orang paling kaya di dunia mau membayar 0.5 persen pajak tambahan maka
dalam 10 tahun ke depan kita mampu membuka lapangan kerja untuk 170 juta
lapangan kerja di bidang perlindungan atau perawatan orangtua dan anak-anak,
Pendidikan, dan Kesehatan.
Lalu Bagaimana dengan
Indonesia? Merujuk pada apa yang dikatakan oleh ekonom INDEF (Institute For
Development of Economics and Finance ) pada tahun 2018, Abdullah mengatakan
bahwa saat ini 1 persen penduduk Indonesia menguasai setidaknya 46 persen
kekayaan di tingkat Nasional. Hal ini menurutnya karena mereka memiliki akses
yang mudah untuk memiliki dan mengelola sumber daya alam, sumber permodalan dan
bahkan akses ke pemerintah.
Belum lagi data dari segi
pengeluaran secara nasional di mana 20% adalah penduduk kelas atas yang
berkontribusi pada 46 % pengeluaran nasional, 40 persen% merupakan penduduk
kelas menengah berkontribusi pada 36,935 dan 20 persen penduduk kelas bawah
berkontribusi sebesar 16, 47% pada pengeluaran nasional.
Jadi dari komposisi ini
kita juga akan tahu siapa yang paling banyak menerima manfaat ketika ada
kebijakan perubahan suku bunga, kenaikan minyak, pelonggaran pajak dan
sebagainya.
Demikian adalah beberapa
gambaran tentang mengapa kita harus menjaga keseimbangan antar mengambil dan
memberi. Karena tanpa itu semua kita tidak akan mampu menjaga kelangsungan
kehidupan.
Artikel ini telah tayang diAcehTrend
Posting Komentar untuk "Memberi adalah Jalan Kehidupan"