Antara Lock Down dan Ketahanan Pangan Masa Depan
Pertanyaan terbesar kita saat ini adalah apakah pangan kita cukup untuk menghidupi 264 juta jiwa jika diberlakukannya Lock Down?
Bagi penduduk yang hidup di perdesaan dengan mata pencaharian sebagai petani, penerapan lock down tidak terlalu berpengaruh karena setiap petani pasti memliki tempat penyimpanan makanan seperti “krong Pade”(Dalam tradisi aceh sebagai penyimpan padi), dimana biasanya akan mencukupi kebutuhan padi selama beberapa bulan kedepan sampai panen padi berikutnya,
Penduduk di perdesaan juga kebanyakan memiliki kebun yang mampu mencukupi kebutuhan dapur seperti singkong, ketela, kelapa, pepaya, labu, cabe rawit, bahkan beberapa petani juga memiliki kebun rempah yang dgunakan seandainya tidak sempat membeli kepasar seperti kunyit, jahe dan lengkuas.
Petani juga memiliki kebiasaan memelihara beberapa ekor ayam, kambing, domba dan sapi walaupun untuk hewan ukuran besar besar tidak semua petani memilikinya setidaknya setiap rumah pasti memelihara ayam atau bebek.
Nah jika terjadi lock down, desa yang memiliki kesedian pangan yang beragam mulai dari padi, sayuran dan rempah, kemungkinan untuk menderita kelaparan sangat kecil sekali.hanya saja jika desa tersebut tidak memiliki persediaan ikan, maka harus mencari alternative lain seperti seperti ayam, kambing, dan lembu.
Berbeda dengan desa yang terletak di daerah perdesaan, kondisi desa yang terletak di daerah perkotaan yang didominasi oleh gedung, rumah susun sampai dengan perindustrian. Bisa kita pastikan desa yang seperti ini sangat rentan terhadap krisis pangan jika terjadi pandemi korona. Hal ini sesuai dengan kondisi daerah perkotaan yang tidak tersedia lahan untuk bercocok tanam dan memelihara ternak sebagai sumber protein hewani.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah berapa ribu desa yang mandiri pangan? Dan berapa persen penduduk yang tinggal di daerah yang mandiri pangan?
Pertanyan tersebut sampai saat ini, penulis belum menemukan jawabannya. Apakah memang setiap desa sudah mandiri pangan,khususnya daerah perdesaan yang sumberdaya alamnya melimpah.
Jika memang wabah corona lebih parah, dan sebelum terjadinya lock down, berikut beberapa hal yang harus kita lakukan, yaitu:
- Kita harusnya memanfaatkan minggu tanpa keramaian untuk belajar bagaimana menyediakan pangan dari rumah kita sendiri. Anak-anak yang diliburkan seolah oleh pemerintah, seharusnya diajarkan bagaiamana memenuhi pangan dari rumahnya sendiri, bagaimana cara bertahan hidup ditengah wabah dan seterusnya mengingat wabah seperti ini pasti akan berulang. Jadi menyiapkan generasi masa depan yang siap menghadapi wabah penyakit menjadi tugas utama kita.
- Mulailah menghubungi keluarga terdekat atau teman yang memiliki relasi dengan masyarakat perdesaan, komoditas berupa beras, kacang-kacangan bisa didatangkan dari desa. Tujuannya meminimalisir kelangkaan kebutuhan pokok di perkotaan. Dengan begitu kita memberikan kesempatan bagi mereka yang hidup pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
- Memanfaatkan setiap ruang kosong untuk menanam beberapa jenis sayur-sayuran baik langsung menggunakan tanah atau meggunakan sistem hidroponik, aquaponik dan aquakultur. Beberapa batang cabai rawit, sawi, kangkung, dan bayam, terong dan lainnya bisa menjadi pilihan.
- Memelihara beberapa ekor ternak sesuai dengan ruang yang kita miliki juga lebih baik daripada hanya menyetok daging dalam fertilizer. Selain lebih segar pastinya kita mengurangi terjadinya lonjakan permintaan daging.
Local Economy is the best solution
Mulai hari ini kita harus mulai menjadikan setiap keluarga memproduksi pangannya sendiri, paling tidak setiap satu keluarga memiliki satu komoditas yang dibudidaya. Kedepannya desa harus memiliki kesediaan pangan sendiri, seandainya tidak sanggup juga setidaknya setiap kecamatan wajib swasembada pangan.
Mungkin untuk saat ini kita lebih suka menggantungkan pangan kita pada perusahaan besar, memanjakan lidah dari hasil produksi yang berbahan penyedap sehingga tak aneh jika kata “Generasi Micin” menjadi kata pamungkas yang menggambarkan bagaimana gaya hidup sebahagian orang sangat dekat dengan bumbu penyedab berbahan baku kimia sintetis ini.
Mengagnggap bahwa mengonsumsi pangan dari perusahaan besar berlabel dan bergambarkan design yang cantik lebih mencerminkan kemoderenan dan prestise. Kondisi seperti sangatlah berbahaya, ada salah satu pepatah yang terkenal yaitu “ Who control the food, control peoples” ini menggambarkan betapa ngerinya struktur ekonomi sosial kita ketika pangan yang merupakan hajat orang banyak dikusai oleh segelintir orang. Sama halnya kita memberikan 80 % kehidupan kita dikontrol oleh penguasa pangan.
Cara hidup masyarakat harus diubah untuk mandiri pangan. Kampaye tentang mandiri pangan harus terus digaungkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya kemandirian pangan. Hari ini kita tidak berbicara berpa banyak uang dan emas yang kita miliki, tetapi berpa banyak lumbung pangan yang kita punya. Sebanyak apapun uang dan barang meta lainnya tidak akan lebih berharga dibanding dengan pangan saat kita sedang kelaparan. Dimasa depan kita akan berkompetisi hanya untuk memperoleh pangan.
Model ekonomi seperti ini yang memberdayakan masyarakat lokal untuk memproduksi pangan sendiri,sebenarnya memberikan banyak sekali keuntungan, diantaranya yaitu:
1.Tidak adanya biaya transport yang membuat harga kebutuhan pokok naik bahkan lebih tinggi dari biaya produksi sendiri
2.Dengan kecilnya biaya pengangkutan pangan atau bahkan tidak ada sama sekali, kita telah menghemat penggunaan minyak bumi, kebutuhan angkutan, oli mesin dst sehingga tranportasi yang kebanyakan memakan hasil bumi ektraktif bisa diminimalkan
3.Kebutuhan pangan yang tersedia disekitar kita, akan terasa lebih segar dan tentunya tidak memerlukan penggunaan bahan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan manusia
4.Dan tak kalah pentingnya kita tidak perlu memakai kemasan yang berbahan plastik, karena dalam waktu relative singkat produksi pangan akan dibeli oleh masyarakat sekitar.
5.Kita bisa memastikan bahwa setiap pangan yang kita konsumsi berasal dari petani yang ramah lingkungan sehingga aman dikonsumsi.
6.Terbukanya lapangan kerja karena umumnya masyarakat desa yang memiliki ikatan persaudaran yang kuat akanlebih mengutamka kerbesamaan dalam aktivitas ekonominya, otomatis penggunaan mesin sangat minim, dengan begitu masyarakat mendapat pekerjaan semuanya. Beda dengan perusahan besar yang mengutamakan profit pasti lebih memilih menggunakan tenaga mesin yang lebih murah dan efisien. Padahal dampak dari penggunaan mesin yang massif hanya akan menyisakan permasalhan sosial seperti banyaknya pengangguran dan seanjtnya bermuara pada tingginya tingkat kriminalitas.
Intinya model eonomi ini lebih pada memberdayakan masyarkat, menumbuhkan rasa cinta sesama, menenggelamkan rasa benci dan permusuhan bahkan persaingan yang tidak sehat.
Desa Bencana
Tahun lalu saya sempat berdiskusi dengan abangda Muhammad Arifin, mahasiswa pasca sarjana kebencanaan Unsyiah. Diskusi yang panjang itu membahas tentang bagaimana seharusnya daerah yang awan bencana seperti aceh memiliki satu komoditas atau makanan yang mampu bertahan lama ketika bencana terjadi, sehingga masyarakat yang terkena bencana langsung bisa mengakses makanan tanpa harus menunggu bantuan dari luar daerah. Beliau pernah bercerita bahwa di negara Jepang misalnya, memiliki bunker yang menyimpan makanan untuk persediaan jika bencana terjadi secara tiba-tiba. Makanan berbentuk roti tersebut diganti setiap 3 bulan sekaliuntuk memastikan tetap dalam kondisi layak konsumsi.
Diskusi ini juga mengarah pada potensi pangan local yang tahan lama tanpa pemakain bahan pengawet. Jika berkaca pada tragedi gempa di Pidie, Provinsi Sumatera Barat memiliki pangan daging rendang yang mampu bertahan sampai satu bulan. Lalu bagaimana dengan Aceh?
Mungkin sebenarnya Aceh memiliki beberapa makanan khas yang bisa dijadikan untuk persedian saat bencana terjadi. Salah satunya yang diketahui penulis adalah Lepat Gayo yang berbahan dsar beras ketan dan gula merah, ini bisa bertahan sampai 2 minggu.
Dengan kondisi alam dan sosial masyarakat sekarang, setiap keluarga seharusnya menjadikan sebuah kebiasaan baru dengan menginvestasikan sebagian dana untuk pangan seperti memelihara beberapa ekor ayam atau kambing, domba,sapi dan kerbau. Bagi yang memiliki lahan sempit ayam bisa jadi pilihan, jika memang tidak memungkinkan, kita bisa mengajak bermitra dengan saudara yang dipercaya atau teman yang mampu memeliharanya.
Bagi penulis menginvestasikan dana untuk pangan bukan hanya karena motif ekonomi, tetapi lebih kepada motif swasembada pangan yang harus kita selesaikan. Setidaknya dana yang kita investasikan bisa mewakili kebutuhan keluarga kita masing-masing. Misalnya setiap orang mengonsumsi 2,6 kilogram/perkapita setiap tahunnya. Jika satu keluarga berjumlah 5 orang maka kita wajib berinvestasi untuk memenuhi kebutuhan daging seberat 13 kiloram pertahun. Walaupun misalnya ternak yang kita investasikan tidak dikonsumsi sendiri tetapi dijual kepasar hewan, setidaknya secara pemenuhan kebutuhan pasar sudah terpenuhi.Berhubung kita tidak langsug mengonsumsi 13 kilogram,tetapi kita sudah menyiapkan daging pengganti dari konsumsi daging yang berasal dari pasar hewan tadi. Begitu juga dengan komoditas lainnya, apalagi komoditas yang masih impor.
Memang mengubah cara hidup masyarakatyang sudah terklasifikasi menjadi berbagai profesi di mana seakan-akan saat berprofesi sebagai karyawan korporasi dan seterusnya, permasalahan pangan bukanlah menjadi tanggungjawabnya tetapi itu dibebankan kepada petani dan peternak saja. Padalah masalah pangan adalah masalah kita. Pangan adalah masalah keberangsungan hidup, tanpa panagan yang cukup dan sehat, maka kita tidak mampu melaksanakan kegiatan yang lain.
Oleh karena itu,wabah korona yang sedang menyerang banyak negara arus menjadi momentum kebangkitan menuju swasembada pangan. Setiap dari kita wajib mengambil bagian menjaga ketersedian dan keamanan pangan.
Penulis adalah Founder Meusigrak for Better World (MBW)
Tulisan ini sudah tayang di AcehTrend
Posting Komentar untuk "Antara Lock Down dan Ketahanan Pangan Masa Depan"