Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Amil Zakat :Mencari Rasionalitas Kaya dan Miskin

Dari hasil penghitungan BPS,tahun 2016 penduduk Aceh berjumlah 5.096.248 jiwa dengan penduduk miskin sekitar 15,92% (tahun 2017) atau sekitar 829.800 jiwa. Angka ini lumayan besar untuk daerah dengan sumber daya yang melimpah. Aceh identik dengan penerapan syariat Islam,hal ini juga harus terbukti dalam setiap kebijakan dan perilaku masyarakatnya.

Dalam tulisan ini penulis ingin berbagi -sejauh yang dipahami penulis-tentang bagaimana mengukur kaya dan miskin dimulai dengan pandangan Thomas Sowel,Imam Syafii dan indikator kemiskinan menurut MACCA dan BPS serta solusi yang ditawarkan oleh penulis sendiri agar zakat terserap secara optimal.

Mengutip satu tulisan dari DR. Armiadi Musa,MA ,26 januari 2016,berjudul “Bolehkah Menyerahkan Zakat Langsung kepada Mustahik?” menyatakan bahwa “zakat merupakan ibadah yang sarat dengan nilai sosial. Kontribusi zakat terhadap pemberdayaan masyarakat miskin baru akan terlihat jika zakat didayagunakan dengan cara yang tepat. Karena itu, menjamin ketepatan penerima zakat merupakan hal yang mesti diutamakan. Barangkali pesan inilah yang bisa kita tangkap dari QS. At-Taubah; ayat tentang distribusi zakat (ayat 60) mendahului ayat tentang pengumpulan zakat (ayat 103).

Secara literal zakat berarti keberkatan,pembersihan,bertambah dan kebaikan. Memberkati kekayaan di mana zakat itu diambil dan melindungi dari kemalangan atau kesialan. Dalam filosofi Islam kata zakat didefinisikan sebagai sebuah bagian yang telah ditentukan atas kekayaan yang diambil dari orang muslim yang kaya dalam komunitas muslim dimana akan dialokasikan ke orang miskin berdasarkan hukum islam. (Mahmud KT,Hasan M K,Sohag K,Alam Md F :2015)

Sebelum kita meneruskan pencarian hakikat kaya dan miskin,ada baiknya kita melihat pandangan salah satu ekonom terkenal,yaitu Thomas Sowel,dalam bukunya Facts and Fallacies,menjelaskan kesalahan berfikir manusia dalam merasionalkan kaya dan miskin.Menurutnya ada enam kategori dimana sebenarnya mereka tidaklah dikatakan miskin,yaitu:

1.Istri dari suami yang kaya dan sebaliknya

2.Investor dan pemilik bisnis dimana usahanya sedang berhenti bahkan tidak menghasilkan sama sekali dalam tahun itu

3.Orang yang tamat dipertengahan tahun dari SMA,universitas,postgraduate hanya mampu menghasilkan setengah bahkan kurang dari apa yang akan dihasilkan di tahun depan (memiliki pekerjaan walaupun sedang mengikuti pendidikan)

4.Doktor,dokter gigi dan professional independent di masa awal bekerja dimana belum cukup langganan atau pasien untuk membayar biaya operasional pekerjaannya ditahun tersebut tetapi memiliki prospek mendapatkan penghasilan yang lebih besar di masa depan.

5.Orang dewasa muda masih tinggal dirumah orang tua yang kaya atau tinggal ditempat yang dibiayai orang tua walaupun bekerja dengan pendapatan rendah atau sebagai relawan dalam sebuah organisasi sosial atau politik tetap dikategorikan kepada orang kaya.

6.Pensiunan yang tidak perlu membayar sewa rumah atau pembayaran jenis pegadaian karena memiliki rumah sendiri dan memiliki asset lebih besar dari rata-rata anak muda walaupun berpenghasilan rendah.

Secara garis besar kita bisa melihat bahwa Thomas sowel menilai kaya tidaknya seseorang berdasarkan tiga hal yaitu,total asset,jumlah pendapatan dan perkiraan pendapatan yang akan datang.

Jika dilihat berdasarkan klasifikasi waktu ada 2 yaitu, waktu sekarang/given time berupa asset dan jumlah pendapatan dan waktu akan datang/future time berupa perkiraan pendapatan berdasarkan prospek pekerjaan yang sedang dijalani

Perbedaan Asset Pendapatan dan Gaji


Apa itu asset? Aset adalah jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga yang dapat diukur dengan uang. Aset dibagi dalam dua kategori yaitu asset tetap (fixed asset) berupa rumah,mobil,ruko,motor dan tanah (tanah adalah asset yang akan selalu naik harganya atau tidak terjadi penyusutan harga),asset lancar (current asset ) seperti kas atau uang simpanan,piutang,persedian barang jika dalam konteks perdagangan dll.

Sedangkan Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima seseorang dari kegiatan produksi barang atau jasa. Di sini Thomas sowel tidak membedakan antara pendapatan dan gaji karena pada intinya kedua kata tersebut sama-sama mencerminkan uang yang dimiliki akibat kegiatan ekonomi walaupun di sisi lain pendapatan dan gaji memiliki perbedaan,jika pendapatan bersifat tidak tetap (uncertainty) jumlahnya seperti pengusaha di mana besarnya uang yang diterima tergantung dari hasil usaha yang sedang berlangsung,tetapi gaji bersifat tetap (certainty) memiliki jumlah yang sama setiap bulannya seperti pegawai negeri,karyawan kantoran dll.

Definisi Miskin Menurut Imam Syafii


Dalam salah satu tulisan yang dimuat di website baitulmal.acehprov.go.id tanggal 1 april 2016 Dr. Analiansyah, M.Ag menjelaskan makna dari miskin dalam mazhab syafii,beliau menulis bahwa “Miskin adalah orang mampu memperoleh lebih dari setengah kebutuhannya, bisa jadi hanya mendapatkan Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) atau Rp. 7.000,- (tujuh ribu rupiah) dari Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) yang dibutuhkannya.

Ukuran mencukupi kebutuhan menurut kedua mazhab ini tidaklah tentu. Seseorang disebut mampu mencukupi kebutuhannya (kaya) apabila ia telah mencukupi kebutuhannya. Ia tidak ditetapkan dengan memiliki uang sejumlah Rp. 50.000,- atau lebih atau dalam bentuk lain, seperti modal usaha dan binatang ternak atau tanaman yang telah sampai nisab. Walaupun nilainya banyak sedangkan semua itu belum mencukupi, tidaklah disebut mencukupi kebutuhannya (kaya). Jadi ukuran kaya adalah mencukupi kebutuhan hidupnya.” Dalam tulisan yang sama juga beliau menyebutkan perbedaan miskin dan fakir. Fakir hanya mampu memenuhi setengah bahkan kurang dari kebutuhan yang seharusnya,sehingga fakir menempati posisi paling pertama.

Imam Syafii tidak menjelaskan secara detail perihal berapa standar ukuran miskin dalam bentuk mata uang.Ini berarti penafsiran miskin secara terperinci masih sangat dibutuhkan berdasarkan kondisi sosio-ekonomi suatu tempat, agar distribusi zakat tepat sasaran. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan orang yang memiki banyak tanah yang tidak productive (idle land),jika dilihat dari pendapatan perbulan mungkin tidak mencukupi tetapi asset berupa tanah akan selalu naik harganya.Ini berarti secara pendapatan yang terlihat kecil tetapi pendapatan yang tidak nampak dari naiknya harga tanah sangatlah besar. Apakah bisa dikategorikan miskin?

Nah, di sini sebenarnya perlu dicarikan solusi,apakah orang yang secara pendapatan sedikit tetapi dari segi asset berupa tanah sangat banyak bahkan terus naik harganya.

Menurut penulis,orang seperti ini tidak bisa disamanakan dengan mereka yang miskin secara pendapatan dan asset. Begitu juga dalam pembagian zakat sebaiknya mereka yang miskin tetap diberikan zakat sebagaimana mestinya tetapi mereka yang berpendapatan rendah, memiliki tanah yang tidak produktif diberikan pinjaman qardul hasan(pinjaman kebaikan/tanpa bunga) berupa modal kerja dan kebutuhan hidup (agar penggunaan modal kerja optimal) di mana dengan pinjaman tersebut akan menghidupkan kembali tanah yang lama mati sehingga menghasilkan pendapatan baru bagi mereka. Setelah tanah itu hidup kembali,pinjaman yang diberikan harus dikembalikan ke amil zakat atau Baitul Mal.

Mencari Kriteria Miskin

Di sini penulis menyajikan beberapa kriteria miskin,yaitu menurut MACCA (Masjid Council for Community Advancement) di Bangladesh dan BPS (Badan Pusat Statistik) di Indonesia,untuk melihat indikator secara global yang sering digunakan.

Pertama,MACCA (Masjid Council fo Community Advancement) dewan masjid untuk kemajuan masyarakat sebuah organisasi yang fokus pada pengembangan berbasis keimanan,kemanusian dan menyukseskan beberapa kampanye yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan,ketidakadilan, memberantas ajaran ektrimisme dan menegakkan keadilan social. (Mahmud KT,Hasan M K,Sohag K,Alam Md F :2015)

Untuk menanggulangi kemiskinan MACCA membuat sebuah program bernama Hasana. Ada 4 kriteria miskin yang harus dipenuhi agar terdaftar sebagai anggota hasana,yaitu :

1.orang yang memiliki pendapatan dibawah 100 taka perhari.

2.Rumah tangga yang terus-menerus menghadapi ketidakcukupan atau berada dalam ketidakterjaminnya suplai makanan.

3.Rumah tangga yang tidak memiliki kesempatan berkerja tetap.

4.Rumah tangga yang tidak memiliki tanah yang bisa ditanami kecuali perkarangan rumah yang kecil.

Kedua, menurut BPS Ada 14 kriteria keluaga miskin.Kriteria ini digunakan untuk menyalurkan program BLT (Bantuan Langsung Tunai),yaitu :

Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Dapat kita simpulkan bahwa secara umum standar ukuran kategori miskin yang sering digunakan berupa sanitasi, kesehatan, pendapatan, tingkat pendidikan, makanan, pakaian ,rumah dan jenis asset lainnya (tanah,kendaraan dan uang tunai).

Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan pengukuran kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.(bireuenkab.bps.go.id).

Dengan kata lain kemiskinan atau Garis Kemiskinan (GK) ) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.(bireuenkab.bps.go.id)

Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan selanjutnya dikategorikan sebagai Garis Kemiskinan Makanan (GKM) meliputi nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).( bireuenkab.bps.go.id)

Sedangkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan non makanan selanjutnya disebut Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) meliputi kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.( bireuenkab.bps.go.id)

Untuk melihat tingkat keparahan kemiskinan,BPS membagi kedalam tiga tingkatan berdasarkan tingkat keparahan kemiskininan yang sedang terjadi mulai dari P0 (persentase penduduk miskin ), P1(Indeks Kedalaman Kemiskinan) dan P2 (Indeks Keparahan kemiskinan) . Sebagai sebuah contoh penguat Kemiskinan di Aceh bisa dilihat dari data BPS 2015 dimana P0 =17.08 % ,P1=3.10 % dan P2=0.83%.Mungkin ini bisa dijadikan patokan pembagian fakir dan miskin yang biasa disebut dalam literature fiqih,khususnya yang sedang berlaku di Aceh adalah Mazhab Syafii.

Kriteria BPS Realistiskah?


Di samping itu,perlu dicatat bahwa 14 kriteria yang disebutkan di atas disahkan pada tahun 2004,artinya sudah ada pergeseran tingkat ekonomi masyarakat meliputi kenaikan upah dan harga barang dan jasa,apalagi sekarang sudah ada BPJS sehingga setiap orang miskin sanggup berobat ke pukesmas bahkan ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.

Sebagai solusi yang ditawarkan oleh penulis, pendapatan dan total asset bisa dinaikkan sesuai dengan jumlah inflasi dari tahun 2005 sampai 2018.Misalnya, kita mengambil tingkat inflasi pertahun sebesar 5 %,jadi dari tahun 2005 sampai 2017 ada rentang waktu 13 tahun dikalikan 5% totalnya 65%. Dengan minimum penghasilan Rp.600.000 di tahun 2004 sama nilainya dengan Rp.990.000 di tahun 2018 -walaupun nominal uangnya naik tetapi karena terjadi inflasi (harga barang dan jasa naik )65% maka uang tersebut akan sama nilainya dengan tahun 2004 .

Dari hasil penghitungan BPS,tahun 2016 penduduk aceh berjumlah 5.096.248 jiwa dengan penduduk miskin 15,92% (ditahun 2017) atau sekitar 829.800 jiwa. Ini menunjukkan dengan memakai ukuran BPS saja,penduduk miskin sangatlah tinggi, jika data dan ukuran yang digunakan BPS tidak realistis dalam artian harus dinaikkan ke ukuran yang lebih tinggi maka bisa dikatakan penduduk miskin di Aceh sangatlah banyak. Nah, di sini seandainya zakat memang difokuskan untuk membantu mereka yang miskin seyogyanya data dan kriteria yang dipakai BPS harus dipakai kalau tidak zakat tersebut hanya akan tersalurkan kepada orang yang kurang tepat.

Penulis mencoba melakukan kalkulasi jumlah zakat fitrah dalam hitungan beras dan dikonversi dalam bentuk uang. Dengan jumlah penduduk 5.096.248 jiwa dan setiap penduduk wajib mengeluarkan 2,3 kg beras maka beras yang berhasil dikumpulkan sebanyak 14.264.494 kg atau 14.269 ton, jika harga perkilo diambil berdasarkan HET (Harga Enceran Tertinggi) beras medium sebesar Rp.9.450 maka jumlah uang yang terkumpul sebanyak Rp. 134,799,500,000.

Jika beras sebanyak 14.269 ton dibagikan kepada 829.800 penduduk miskin maka masing-masing individu akan mendapatkan sekitar 17 kg beras,Jika dibagikan berupa uang maka setiap individu mendapat Rp.162.448. Seandainya setiap individu menghabiskan 8 kilo beras perbulan maka dengan 17 kg beras itu akan memenuhi kebutuhan penduduk yang tergolong miskin selama 2 bulan.

Solusi

Zakat bukan hanya ritual tahunan tetapi ini adalah salah satu cara Islam untuk melakukan pemerataan kekayaan dan mengentaskan kemiskinan. Tanpa adanya perhatian yang serius mulai dari Pemerintah Pusat sampai pemerintah tingkat desa juga tidak kalah pentingnya peran ulama, amil zakat desa dan praktisi ekonomi islam, zakat hanya sekedar ritual dan tidak akan tercapai salah satu esensi diwajibkannya zakat yaitu untuk pemerataan kekayaan.

Untuk itu penulis menyarankan, pertama,agar baitul mal tingkat desa segera diaktifkan dan terintegrasi dengan baitul mal tingkat kabupaten dan provinsi. kedua, membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mejauhi hak mustahik (penerima zakat) kecuali telah terpenuhi kriteria yang telah ditetapkan, dan ketiga hendaknya amil zakat memiliki data yang lengkap tentang kekayaan yang dimiliki oleh penduduk desanya agar tepat sasaran dan data tersebut harus terupdate setiap tahunnya .

 

Note:

Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di media Acehtrend
FURQAN
FURQAN Hobi menanam dan beternak secara organik. Berkeinginan mewujudkan sistem ekonomi yang berkelanjutan.

Posting Komentar untuk "Amil Zakat :Mencari Rasionalitas Kaya dan Miskin"