Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Hai Sarjana Menjadi Petani Itu Keren Loh

 

Disadari atau tidak, kata “Petani” cenderung mendapat stigma “rendahan” atau “tidak berkelas” bagi sebagian kalangan. Stigma ini mungkin terbentuk karena pekerjaan ini kebanyakan di gandrungi oleh para orangtua paruh baya dan kebanyakan berpendidikan rendah. Dan mirisnya lagi tingkat pendidikan seseorang diukur dengan secarik ijazah yang dibubuhkan dengan gelar tertentu di depan nama si empunya. Sehingga sebaik apapun pengetahuan seseorang dalam memahami pekerjaanya tetapi dengan tidak adanya gelar akademik maka dianggap tidak berpendidikan, padahal diluar sana banyak juga yang berlabel lulusan akademik tetapi tidak menguasai bidangnya tetapi tetap diberi label “orang berpendidikan”.

Stigma atau label sosial ini sangat mempengaruhi kondisi ekonomi maupun ketersediaan pangan kita, bagaimana tidak dengan adanya label ini setiap orang baru apalagi bagi lulusan universitas yang ingin berkecimpung akan di dunia pertanian akan mendapat label “orang rendahan” atau bisa dicap “tidak laku” di bursa pekerja kantoran. Dengan demikian jumlah petani akan semakin menipis sedangkan jumlah manusia yang harus diberikan makan semakin bertambah, artinya petani memiliki beban yang lebih besar.

Merujuk pada data yang dikutip oleh CNBC Indonesia pada tanggal 15 November 2019 menyatakan “menurut BPS jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menurun dari 33% menjadi 29% dan sejak tahun 1990 sampai 2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13% sedangkan serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama. Dan juga diprediksi dalam kurun waktu 10-15 tahun kedepan Indonesia akan mengalami krisis petani

Stigma negatif ini juga akan membuat orang enggan bekerja berlumuran lumpur untuk memproduksi bahan makanan manusia. Ini juga mungkin alasan bagi ribuan lulusan universitas untuk tidak kembali ke kampung halamannya mengabdi atau mengembangkan potensi yang ada di desa malah memilih menjadi pekerja kantoran atau bahkan menjadi apa saja asal tidak kembali ke desa. Dan alasan paling ektream bagi sebagian sarjana adalah takut ditolak mentah-mentah sama calon ibu mertua karena berprofesi sebagai petani! Apalagi ketika moment disaat calon ibu mertua mengeluarkan pertanyaan pamungkas yang menentukan “nikah atau tidaknya” “abang ini kerja dimana?” Dalam bayangan kebanyakan ibu mertua “anakku harus menikah dengan pekerja kantoran atau PNS dengan gaji tetap dan mendapat pamor yang baik dimasyarakat” Keliatannya sangat Tragis, tapi inilah pil pahit yang harus ditelan jika calon ibu mertua tidak paham tentang prospek dunia pertanian jika ditekuni dengan baik dan tentunya menggunakan sedikit sentuhan teknologi.

Nah ini adalah salah satu bentuk kesalahan dalam berfikir dimana tidak bisa dibenarkan dengan pendekatan apapun, dari sisi ekonomi mereka meninggalkan sumber atau ladang uang dan dari sisi sosial mereka meninggalkan tanggung jawab mencerdaskan dan membantu masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera.

Terlepas dari label atau stigma negative tentang petani, kata sukses juga mulai dipersempit. Sukses sering digambarkan ketika seseorang bisa bekerja dengan pakaian yang necis (berdasi, sepatu mengkilap, atau dengan baju branded) di perusahaan ternama, memiliki rumah dan mobil mewah. Ini sangat nampak bahwa kita sudah memasuki dalam satu lingkaran konsumsi yang diciptakan oleh para digdaya capitalist. Diluar sana seperti Warrant Buffet walupun memiliki kekayaan lebih dari Rp.1.300 T malah hidup sangat sederhana dan menjauhi pola hidup konsumtif juga tekenal sangat dermawan.

Bagi penulis kata sukses tidak bisa diukur dengan corak pakaian tertentu, kepemilikan barang tertentu tetapi diukur dari sejauhmana mampu memaksimalkan peran dalam setiap bentuk profesinya sehingga memberikan kontribusi yang positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Itu bisa berupa menjadi petani yang jujur dan amanah, menjadi peternak, menjadi pejabat negara dan lain sebagainya. Ketika dalam perjalanan hidupnya mereka mampu mengubah satu kebiasaan buruk masyarakatnya, saat itulah disebut sukses. Ketika mereka mampu menaikkan kesejahteraan masyaratnya, saat itulah disebut sukses. Jadi sukses sebenarnya semudah itu. Cara pandang money centric value yang mengukur segala kesuksesan berdasarkan berapa banyak uang yang didapat hanya akan membunuh inovasi dan kreatifitas masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial yang berpegang pada nilai kemanusian. Di sini bukan berarti penulis melarang sepenuhnya pemakaian money centric value karena dalam beberapa hal justru kita membayar seseorang atas kinerjanya tetapi kita juga patut memberikan bayaran berupa nilai atas keikhlasan hatinya dalam bekerja seperti menghargai, memuji, memberikan rasa nyaman dan aman, komunikasi yang bagus, dll. Intinya ada kesimbangan antara bayaran dalam bentuk uang / harga dan bayaran dalam bentuk nilai sosial.

Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa realistiskah menjadi seorang petani?

Merujuk pada rilis Katadata.co.id tanggal 13 agustus 2019, merilis bahwa total impor pangan semester I mencapai Rp. 35,5 T berupa kedelai, jagung dan kacang tanah yang berasal berasal dari negara Jepang, Amerika Serikat, Korea, Tiongkok, Thailand hingga Malaysia sedangkan ekspor sekitar hanya Rp.171 saja. Dengan kenyataan jumlah impor yang terlalu tinggi sebenarnya iniadalah ruang kosong yang harus kita isi agar Indonesia bebas dari impor pangan dan ditambah lagi peningkatan jumlah penduduk yang diprediksikan akan mencapai 250 juta. Sehingga jika kita tidak mau menjadi penyedia kebutuhan pangan bagi masyarakat, saya yakin ini akan membuat banyak negara luar atau korporasi menginvestasikan uangnya di sector ini. dan kita hanya akan menjadi penonton dan calon pelanggan yang setia. Padahal seharusnya kita menginginkan pemberdayaan ekonomi lokal dimana nantinya setiap komunitas masyarakat mampu memnuhi kebutuhan pangannya, dengan harapan seluruh masyarakat mampu hidup dengan sejahtera.

Mengutip data Tech-Cooperation Aspac FAO yang dikutip oleh Gatra.com menyatakan bahwa “ 69% tanah pertanian di Indoneisia dikategorikan sudah rusak parah (tandus) lantaran penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan. Dengan kondisi itu diramalkan ketahan pangan (food security) Indonesia hingga 2050 akan sangat rentan terhadap perubahan iklim”. Data tersebut menunjukkan kesalahan cara bertani masyarakat modern, padahal jika kita flashbackbeberapa tahun silam dimana masih menggunakan cara tradisional, tingkat hama dan gagal panen relative sedikit. Hal ini terjadi karena petani zaman dulu sangat menghormati prinsip alam dan tidak menggnakan zat yang merusak alam. Kita perlu kembali lagi mempelajari sistem pertanian organic yang menghormati prinsip alam, dengan harapan pertanian kita bisa terus sustain/ berlanjut sehingga kita akan mampu menghidupi generasi selanjutnya. Jadi kehadiran kita bukan hanya sebagai penyedia pangan tetapi juga menjadi delegasi alam, menjadi pioneer sistem bertani yang sesuai kaedah alam.


Dari dua alasan yang sangat urgent tersebut, masih menyisakan satu pertanyaan yang tak kalah mirisnya,yaitu apakah petani bisa hidup sejahtera?

Untuk mewujudkan kesejahteraan petani yang perlu diperhatikan adalah kebijakan harga (pricing policy) dan harga pokok produksi petani. Dari komoditas beras misalnya Indonesia masih terlalu tinggi dimana HPP mencapai Rp.5100/kg jauh dibanding negara lain seperti Vietnam hanya berkisar Rp.2.500/kg dan negara Australia dibahwah angka Rp.1.500. Selanjutnya komoditas lainnya juga perlu dihitung kembali berapa harga HPP dan harga jual tingkat petani yang layak.

Selanjutnya juga perlu dibenahi sistem pertanian beserta pemakaian teknologi agar HPP bisa ditekan serendah mungkin. Dan juga setiap petani harus diedukasi agar lebih mandiri seperti cara bertani yang benar, pengolahan pupuk,pengolahan pestisida, fungisida, insektisida dll, dengan harapan petani tidak tergantung dengan produk luar yang membuat tingginya HPP.


Furqan adalah Founder Meusigrak Integrated Farm
FURQAN
FURQAN Hobi menanam dan beternak secara organik. Berkeinginan mewujudkan sistem ekonomi yang berkelanjutan.

1 komentar untuk "Hai Sarjana Menjadi Petani Itu Keren Loh"

  1. Hi mas Furqan, maasya Allah sangat menginspirasi sekali tulisan ini, saya pribadi setuju dengan pandangan mas Furqan pada tulisan ini.
    semoga makin banyak Sarjana muda yang tidak tergoda akan pekerjaan dengan gaji tetap seperti kantoran dan PNS yaaaa, karena Indonesia butuh para pemuda lulusan terbaik untuk memajukan Indonesia di sektor pertanian dan lainnya.

    BalasHapus